Butuh Pengakuan
Tak ada yang lebih mengesankan dari melihat seorang pemimpin yang dengan bangga berdiri di podium, tersenyum lebar, dan dengan penuh percaya diri mengklaim pencapaian besar.
Tapi tunggu dulu, pencapaian itu ternyata bukan hasil kerja kerasnya sendiri, melainkan hasil kerja pemimpin sebelumnya.
Ya, di negeri ini, kita telah menyaksikan fenomena yang semakin meresahkan: pemimpin yang gemar mengklaim prestasi orang lain.
Apa ini tanda kepemimpinan yang kuat atau hanya sekadar kepemimpinan ‘asal klaim’?
yang tidak penting. Yang penting adalah dampak nyata yang bisa dirasakan oleh rakyat.
Asal Klaim, Yang Penting Tampil
Sepertinya, di zaman sekarang, definisi kepemimpinan yang baik adalah siapa yang paling lihai mengklaim prestasi.
Tidak penting apakah pencapaian itu hasil kerja keras timnya atau bahkan pemimpin sebelumnya. Yang penting, namanya muncul di berita, dan dia terlihat hebat.
Bagi para pemimpin tukang klaim ini, publikasi lebih penting daripada substansi, dan klaim lebih berharga daripada kenyataan.
Tak jarang kita melihat seorang pemimpin yang, dengan penuh semangat, meresmikan sebuah proyek besar, lalu mengklaimnya sebagai bukti keberhasilan masa jabatannya.
Namun, jika kita telisik lebih dalam, proyek tersebut ternyata telah direncanakan dan bahkan dimulai sejak masa kepemimpinan sebelumnya.
Tentu saja, hal ini tidak mengurangi semangat sang pemimpin untuk terus mengklaim, karena toh publik tak terlalu peduli, bukan? Asal ada foto yang bagus dan kata-kata manis, masyarakat pasti percaya saja.
Strategi Politik yang Ampuh?
Dalam dunia politik yang penuh intrik, strategi adalah segalanya. Dan tampaknya, mengklaim prestasi pemimpin sebelumnya adalah strategi yang cukup ampuh.
Dengan mengklaim keberhasilan yang sudah ada, seorang pemimpin tidak perlu repot-repot berpikir keras mencari solusi baru. Lebih mudah mengklaim yang sudah ada, kan? Tinggal ganti plakat, buat acara peresmian yang meriah, dan voila! Nama sang pemimpin langsung melambung tinggi.
Namun, di balik klaim tersebut, ada kekosongan visi dan ide yang sesungguhnya. Pemimpin yang hanya pandai mengklaim biasanya tidak punya terobosan nyata. Kebijakannya cenderung monoton, dan kalaupun ada yang baru, itu lebih sering sekadar modifikasi dari apa yang sudah ada sebelumnya.
Tapi sekali lagi, selama publik tertipu dengan gembar-gembor keberhasilan, mengapa harus repot-repot inovasi?
Menjual Klaim Sebagai Prestasi
Seni mengklaim tidak hanya berhenti pada sekadar bicara, tetapi juga memanfaatkan media dan opini publik. Sebuah klaim prestasi akan menjadi lebih efektif jika didukung oleh pemberitaan yang masif.
Di sinilah peran media dan tim humas pemerintah sangat vital. Dengan sedikit permainan narasi, sebuah klaim bisa disulap menjadi prestasi gemilang yang seolah-olah hasil kerja keras pemimpin tersebut.
Narasi dibangun, cerita disusun rapi, dan masyarakat akhirnya percaya bahwa sang pemimpin memang luar biasa.
Sialnya, tidak semua orang sadar bahwa yang mereka saksikan adalah hasil manipulasi narasi belaka. Masyarakat cenderung menerima informasi yang disajikan tanpa banyak bertanya.
Alhasil, prestasi yang seharusnya dikreditkan kepada pemimpin sebelumnya malah jatuh ke tangan pemimpin baru yang lihai menjual klaim.
Siapa Peduli? Asal Negara Maju!
Tentu saja, ada argumen yang mengatakan bahwa selama negara ini maju, siapa yang mengklaim prestasi bukanlah masalah besar. Jika sebuah proyek berhasil, bukankah lebih baik kita merayakannya daripada sibuk mencari siapa yang pantas mendapat pujian? Pemikiran ini tidak sepenuhnya salah.
Namun, di balik argumen tersebut, ada bahaya yang mengintai. Kebiasaan mengklaim prestasi orang lain bisa menciptakan budaya politik yang tidak sehat, di mana kompetisi bukan lagi soal siapa yang bisa membawa perubahan nyata, tetapi siapa yang paling pandai berakting di depan publik.
Ketika pemimpin lebih fokus pada klaim daripada aksi nyata, roda pemerintahan bergerak lambat. Program-program baru terhambat, karena yang lama belum selesai diklaim. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah masyarakat yang terjebak dalam pusaran klaim tanpa substansi.
Berdamai dengan Kenyataan
Seorang pemimpin yang sejati tidak perlu repot-repot mengklaim prestasi. Prestasi sejati akan berbicara dengan sendirinya. Ia tidak membutuhkan sorotan kamera atau pidato penuh bunga untuk membuktikan kemampuannya.
Rakyat bisa melihat dan merasakan dampak kebijakannya tanpa perlu dibombardir dengan klaim yang tidak berkesudahan. Namun sayangnya, di era politik pencitraan ini, pemimpin seperti itu semakin langka.
Pemimpin sejati berani membangun dari awal, tidak hanya menumpang pada warisan pemimpin sebelumnya. Ia melihat tantangan baru dan menciptakan solusi baru.
Dia tidak takut membuat kesalahan, karena dia tahu bahwa kesalahan adalah bagian dari proses menuju kesuksesan. Pemimpin seperti ini memahami bahwa klaim adalah sesuatu yang tidak penting. Yang penting adalah dampak nyata yang bisa dirasakan oleh rakyat.
Refleksi untuk Masa Depan
Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat harus lebih kritis dalam melihat klaim-klaim yang dilontarkan oleh para pemimpin. Jangan mudah terbuai oleh janji manis atau peresmian megah.
Sebaliknya, kita perlu meneliti lebih dalam, mencari tahu asal-usul prestasi yang diklaim, dan mempertanyakan apakah klaim tersebut memang pantas. Jangan biarkan diri kita menjadi korban dari permainan politik yang hanya mementingkan citra.
Jika kita terus menerima klaim tanpa kritis, kita hanya akan membiarkan budaya kepemimpinan asal klaim ini tumbuh subur. Kita berhak mendapatkan pemimpin yang benar-benar berprestasi, bukan hanya yang pandai berakting.
Jadi, mari kita jaga agar masa depan negeri ini tidak dipenuhi dengan pemimpin tukang klaim, tetapi pemimpin yang benar-benar membawa perubahan nyata.
Penulis: KP. H. Andri Winarso Wartonagoro (Jurnalis, Pemerhati Budaya)