Memposisikan Humas Sesuai Latar Belakang Pendidikan
Bangga Kencana || Surabaya – Merumuskan sebuah informasi kebijakan publik merupakan “fungsi” penting dari sebuah bagian Hubungan Masyarakat (Humas) pemerintahan, menjadikan Humas sebagai jurnalis dalam mengkomunikasikan berbagai kebijakan dan program kerja pemerintah. Tujuannya tidak lain sebagai publikasi dan transparansi informasi untuk menangkal sekaligus penyeimbang tren pemberitaan negatif dengan pemberitaan positif.
Peran dan fungsi Humas dianalogikan sebagai aktifitas teknis dalam publikasi kehumasan yang dapat dilakukan oleh bidang lain di luar kehumasan. Dengan kata lain, Humas kerap disebut sebagai jurnalis, tukang foto atau pencari berita. Padahal fungsi Humas sebagai bagian dari komunikasi dalam organisasi secara absolut penting bagi kelangsungan setiap organisasi (Ardianto, 2004) tidak terjadi. Karena dalam menjalankan perannya, Humas bergantung kepada kebijakan atasan yang menjadi kunci dari optimalisasi peran Humas pada aktifitasnya sehari-hari.
Akan tetapi, hal di atas secara bersamaan seolah menegaskan bahwa tupoksi Humas hanyalah publikasi informasi atas kebijakan dan program kerja pemerintah semata. Padahal menurut Permenpan-RB No.6 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pranata Humas dan Angka Kreditnya, tugas Humas sangat kompleks.
Tugas pokok pranata Humas meliputi tugas, tanggung jawab dan wewenang dalam melaksanakan kegiatan pelayanan informasi dan kehumasan (Kementerian PAN-RB, 2014). Hal ini selaras dengan teori Broom dan Dozier yang mengklasifikasikan peran Humas dalam dua kelompok besar, yakni peran teknisi dan peran manager.
Teori itu menjelaskan bahwa peran Humas ideal tidak hanya dijalankan dalam satu lingkup saja. Humas dapat bekerja dalam dua tingkatan yang berbeda sekaligus, yaitu sebagai penasihat atau konsultan bagi manajemen organisasi terhadap klien mereka, serta menjadi teknisi yang mampu menampilkan kejamakkan fungsi.
Untuk itu, Humas seharusnya ditempatkan pada jajaran tertinggi dalam struktur organisasi sehingga memungkinkan pemberian akses kontribusi pada proses pengambilan keputusan yang membuat Humas memahami alasan pengambilan keputusan sebagai acuan dalam menentukan tindakan tepat untuk mendukung kebijakan yang dikeluarkan instansi (Rachmadi, 1994).
Peluang besar bahwa praktisi Humas harus bisa menempatkan Humas sebagai peran strategis dalam fungsi manajemen. Hal ini perlu holistic approach serta kolaborasi. Profesi Humas semakin dituntut tidak hanya sebagai mulut dari sebuah instansi, tapi juga menjadi mata dan telinga bagi Instansi/ Lembaga. Profesi ini dituntut memiliki kemampuan lebih dari sekadar komunikasi. Sebagai Humas yang merepresentasikan lembaga/ instansi, harus bisa memanfaatkan berbagai channel komunikasi dan informasi secara efektif.
Lantas, bagaimana dengan kehumasan di pemerintahan?.
Lepas dari itu semua, perlu kita pahami bersama bahwa kerja-kerja Humas dapat dilakukan oleh siapa pun. Pimpinan sekali pun bisa berperan dalam melakukan aktivitas Humas, baik di perusahaan maupun pemerintah.
Agar memiliki Humas yang profesional dan mumpuni seperti yang diharapkan pemerintah, penulis menyarankan untuk memaksimalkan peran Humas. Support dan dukungan atasan sangat diperlukan dalam hal ini. Salah satunya dengan menempatkan Humas pada posisi yang seharusnya dan memberikan wewenang sesuai dengan visi, misi instansi, terlibat dan dilibatkan.
Pemerintah juga dapat memposisikan pejabat struktural Humas sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hal ini sebagai bentuk optimalisasi peran Humas dengan atasan yang bersinergi dan sepaham dengan peran-peran kehumasan. Termasuk di dalamnya, pelatihan terkait peningkatan keilmuan dan keterampilan kehumasan bagi Pranata Humas. @red
Penulis : Aulia Dikmah Kiswahono, S.Sos., M.Med.Kom.
(Humas Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur).