Hadiri Acara Puncak Harganas Secara Virtual, Bupati Tulungagung Dapatkan Penghargaan Dari Kepala BKKBN

Bangga Kencana || Tulungagung – Bupati Tulungagung beserta jajaran di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso mengikuti secara virtual acara Puncak Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-28 Tahun 2021 yang dibuka Wakil Presiden RI, K.H. Ma’ruf Amin, Selasa (29/6/2021).
Bertepatan dengan Harganas ke-28 yang mengambil Tema Keluarga Keren Cegah Stunting, Bupati Tulungagung, Drs. Maryoto Birowo, M.M., menerima penghargaan Manggala Karya Kencana (MKK) dari Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diserahkan secara virtual di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso, Senin (28/6/2021) kemarin.
Penghargaan MKK diberikan oleh Kepala BKKBN RI, dr. Hasto Wardoyo, SP.OG (K) kepada Bupati Tulungagung sesuai dengan Surat Keputusan Kepala BKKBN No 71/ KEP/ G2/ 2021 tentang Penerima Penghargaan Manggala Karya Kencana, Wira Karya Kencana, Dharma Karya Kencana dan Cipta Karya Kencana tahun 2021.
Penghargaan MKK merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan Pemerintah Pusat melalui BKKBN kepada sosok yang dinilai mempunyai dedikasi tinggi terhadap program pengendalian penduduk, Keluarga Berencana (KB) dan Pembangunan Keluarga.
Terpisah, pada acara Peringatan Harganas di kantor Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur, Kepala Perwakilan (Kaper) BKKBN Provinsi Jawa Timur, Drs. Sukaryo Teguh Santoso, M.Pd., ikut bangga bahwa Bupati Tulungagung beserta kepala daerah lainnya mendapat penghargaan MKK dari Kepala BKKBN.
“Pada Peringatan Harganas Tahun 2021 ini, juga diberikan penghargaan MKK yaitu penghargaan tertinggi dari kepala BKKBN kepada para pemimpin daerah atas dedikasi dan dukungannya terhadap program Bangga Kencana, kepada Gubernur Jawa Timur, Walikota Madiun, Bupati Madiun, Bupati Tulungagung, Bupati Magetan, Bupati Lumajang, dan Ali Imran, S.Sos, Msi (penerima CKK),” terang pak Teguh, Selasa (29/6/2021).
Penetapan Hari keluarga Nasional merupakan bentuk nyata komitmen pemerintah yang konsisten dalam upaya pembangunan sumber daya manusia yang yang berdaya saing melalui keluarga yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan di Indonesia merupakan transformasi progresif terhadap struktur sosial, ekonomi, politik dimana suatu proses pembangunan yang dilaksanakan dapat mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu bangsa.
Oleh karena itu dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai langkah transformasi diperlukan upaya-upaya dalam rangka menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam memenuhi kepentingannya tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang.
Oleh karena itu generasi penerus bangsa haruslah tumbuh dalam keadaan yang sehat, cerdas, kreatif, dan produktif. Diharapkan jika anak-anak terlahir sehat dan tumbuh dengan baik serta didukung oleh pendidikan yang berkualitas maka diharapkan mereka dapat menjadi modal kesuksesan pembangunan bangsa.
Namun yang terjadi di Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada permasalahan dimana berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan prevalensi stunting Balita di tingkat nasional sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Sedangkan untuk balita normal terjadi peningkatan dari 48,6% (2013) menjadi 57,8% (2018).
Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dalam laporan sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi. Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Kamboja.
Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya.
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan. Pengalaman dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%.
Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi.
Pencegahan stunting perlu dititikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi yang langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung mencakup masalah kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi. Sementara, penyebab tidak langsung mencakup ketahanan pangan (akses pangan bergizi), lingkungan sosial (pemberian makanan bayi dan anak, kebersihan, pendidikan, dan tempat kerja), lingkungan kesehatan (akses pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan pemukiman (akses air bersih, air minum, dan sarana sanitasi). Keempat faktor tidak langsung tersebut mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Intervensi terhadap keempat faktor penyebab tidak langsung diharapkan dapat mencegah masalah gizi.
Penyebab langsung dan tidak langsung tersebut di atas dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan. Untuk mengatasi penyebab stunting, diperlukan prasyarat pendukung yang mencakup:
(a) Komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan;
(b) Peran aktif pemerintah dan non-pemerintah; dan
(c) Kapasitas untuk melaksanakan tugas tersebut, oleh karena itu pencegahan stunting
memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan konvergen, yang harus dimulai
dari pemenuhan prasyarat pendukung.
Dalam penanganan stunting, keluarga merupakan komponen utama yang sangat berperan dalam pencegahan maupun penanggulangan nya. Hal ini di sebabkan karena masalah gizi, sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup keluarga, yaitu praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan dan Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga untuk mengkonsumsi makanan bergizi.
Keluarga memang unit terkecil dalam masyarakat, tetapi keluarga memiliki peran besar dalam keberhasilan menekan dampak pandemi COVID-19 dan kesuksesan menuju era normal baru. @red.